MAKALAH KEWARGANEGARAAN
“Peran Keadilan dalam Harmonisasi: Menyikapi Perbedaan Perlakuan Kaum Mayoritas dan Minoritas di Indonesia”
Anggota Kelompok:
Elysa Bayu Permatasari 1604223017
Nesta Setiani Aliandrea 1604223055
Rafa Khansa F 1604223045
Siti Khumaira 1604223088
Tiffany Princess Law 1604220065
Mata Kuliah Kewarganegaraan
2024
Ringkasan
Makalah ini mengkaji peran keadilan dalam menciptakan harmonisasi sosial di Indonesia, menyoroti tantangan dan solusi dalam mengatasi perlakuan berbeda terhadap kaum mayoritas dan minoritas.
Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang dikenal akan kekayaan budaya, agama, suku, dan bahasa. Keragaman ini merupakan aset berharga sekaligus tantangan dalam mempertahankan keharmonisan sosial. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu" mencerminkan semangat persatuan dalam keberagaman, di mana masyarakat Indonesia diharapkan mampu hidup rukun walau berasal dari latar belakang yang beragam. Namun, praktik di lapangan menunjukkan adanya kendala besar dalam menjaga keseimbangan ini, terutama terkait perlakuan yang berbeda antara kelompok mayoritas dan minoritas.
Fenomena perbedaan perlakuan terhadap kelompok minoritas kerap terlihat di berbagai sektor, termasuk sektor pendidikan, pekerjaan, layanan publik, hingga hak-hak politik. Kelompok mayoritas di Indonesia, baik berdasarkan agama, suku, maupun latar belakang budaya, sering kali mendapatkan akses yang lebih mudah dan perlakuan yang lebih baik dibandingkan kelompok minoritas. Situasi ini sering kali memicu ketidakadilan, diskriminasi, bahkan konflik sosial yang dapat mengganggu stabilitas nasional. Jika dibiarkan berlarut-larut, ketidakadilan ini akan semakin memperlebar jurang kesenjangan antara mayoritas dan minoritas serta menghambat proses harmonisasi sosial.
Judul "Peran Keadilan dalam Harmonisasi: Menyikapi Perbedaan Perlakuan Kaum Mayoritas dan Minoritas di Indonesia" diambil karena keadilan dianggap sebagai landasan penting dalam menciptakan masyarakat yang harmonis dan inklusif. Keadilan sosial tidak hanya penting bagi kelompok minoritas yang kerap mengalami diskriminasi, tetapi juga bagi mayoritas agar tercipta tatanan masyarakat yang lebih berimbang dan damai. Penegakan keadilan yang adil dan menyeluruh menjadi salah satu kunci dalam menciptakan kedamaian dan menjaga persatuan bangsa. Hal ini juga sejalan dengan salah satu tujuan Sustainable Development Goals (SDGs), yakni tujuan ke-16 yang mengedepankan perdamaian, keadilan, dan kelembagaan yang kuat.
Tujuan dari pembahasan ini adalah untuk memberikan analisis kritis mengenai bagaimana keadilan diterapkan dalam relasi antara mayoritas dan minoritas di Indonesia serta menawarkan rekomendasi kebijakan yang dapat mendukung harmonisasi sosial. Melalui penelitian ini, diharapkan masyarakat akan lebih memahami bahwa keadilan yang menyeluruh bukanlah soal memberikan perlakuan istimewa, tetapi memastikan bahwa setiap warga negara memperoleh hak dan kesempatan yang setara.
Urgensi dari topik ini sangat jelas, mengingat Indonesia adalah negara yang besar dan majemuk, di mana perbedaan adalah keniscayaan yang perlu dikelola secara bijak. Dalam situasi dunia yang semakin terhubung dan berkembang pesat, kebutuhan akan keharmonisan sosial menjadi semakin penting. Peran keadilan dalam hubungan antara mayoritas dan minoritas bukan hanya tentang menghindari konflik, tetapi juga membangun fondasi bagi masyarakat yang stabil, inklusif, dan berkelanjutan. Makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya menciptakan Indonesia yang lebih adil bagi seluruh warganya, tanpa memandang latar belakang mayoritas atau minoritas, serta mendukung tercapainya tujuan nasional dalam pembangunan yang lebih adil dan merata.
Cara Pengambilan Data
Pengambilan data untuk topik "Peran Keadilan dalam Harmonisasi: Menyikapi Perbedaan Perlakuan Kaum Mayoritas dan Minoritas di Indonesia" ini melalui wawancara bersama narasumber yang dilaksanakan pada hari Jum’at tanggal 08 November 2024. Target partisipan kami adalah seseorang yang paham mengenai hukum di Indonesia. Partisipan yang terlibat dalam wawancara ini adalah seorang pengacara yang bernama Denny Aliandu. Berikut adalah pertanyaan & jawaban dari hasil wawancara yang telah kami lakukan :
Bagaimana Anda melihat perbedaan perlakuan antara kaum mayoritas dan minoritas di Indonesia dalam kehidupan sehari-hari?
Asas equality before the law dalam perspektif hukum itu adalah pada prinsipnya setiap orang itu memiliki hak kedudukan yang sama di mata hukum. Ketika ada perbedaan antara mayoritas dengan minoritas kalau kita melihat dari perspektif dari dalam sistem hukum ada yang namanya “sociological jurisprudence”, kalau misalkan kita melihat dari perspektif mayoritas dengan minoritas artinya, kita melihat penerapan hukum kita terhadap kaum yang lebih mayoritas terhadap kaum minoritas penegakkan hukum nya seperti apa, nah kalau saya melihat dari sisi perspektif hukum seharusnya masalah mayoritas dengan minoritas itu tidak ada. Hal itu tidak dikenal dengan yang namanya ada mayoritas dengan minoritas karena di hadapan hukum semuanya memiliki hak kewajiban dan kedudukan yang sama di masa hukum
Menurut Anda, bagaimana peran pemerintah dalam memastikan hak-hak kaum minoritas tetap terlindungi?
Pemerintah itu punya sebuah yang namanya diskresi, diskresi itu dituangkan kedalam sebuah peraturan perundangan. Nah, semangat daripada peraturan perundang-undangan itu adalah kalau di dalamsebuah keputusan ada asas baru yang namanya harga omnes. Kalau ada di dalam harga omnes, artinya semua keputusan yang dituangkan oleh pemerintah harus dirasakan dampak baik kepada seluruh masyarakat sehingga kalau kita mau melihat dari sisi peran pemerintah, ya pemerintah harus menjalankan asas itu. Jadi peran sertanya terhadap mayoritas harus seimbang.
Apakah Anda pernah mengalami atau menyaksikan diskriminasi terhadap kaum minoritas? Bagaimana dampaknya?
Kaum minoritas yang pernah saya alamin itu di tahun 2014-2015, karena pada saat itu saya sebagai pengacara ada satu kasus setelah kasus JIS ada kasus di Santa Monica, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Pada waktu itu, ada seorang ibu namanya Haryati, beliau adalah seorang guru bahasa inggris di sekolah internasional di Santa Monica, lalu ada satu anak kecil namanya Lukren, ketika anak itu sampai rumah dia murung dan sebagai macam dan ternyata orang tuanya mengajukan bahwa ibu Haryati melakukan tindakan pemerkosaan pada anak. Pada waktu itu keputusan di pengadilannya ibu Haryati ditahan selama 40 bulan lalu keputusan selanjutnya ibu Haryati dibebaskan karena terbukti bahwa beliau tidak melakukan tindakan asusila tersebut. Nah itu bentuk diskriminasi nyata yang pernah saya alami.
Bagaimana pandangan Anda tentang keberagaman budaya, agama, dan suku di Indonesia? Apakah ini menjadi kekuatan atau tantangan bagi negara kita?
Ya, pasti.
Apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat mayoritas untuk mendukung hak-hak kaum minoritas?
Yang bisa dilakukan masyarakat mayoritas khususnya, Gus Dur pernah bilang bahwa supaya terjadi keberagaman itu lancar, bukan minoritas yang menghormati mayoritas tetapi yang mayoritas menjaga yang minoritas.
Apakah menurut Anda Indonesia sudah cukup memberikan perlindungan hukum bagi kaum minoritas? Apa yang masih perlu ditingkatkan?
Secara aturan hukum, secara peraturan dan secara kebijakan sudah, tetapi implementasi nya yang belum. Karena sifat dari pada hukum itu sendiri adalah sektoral, hukum adalah produk politik sehingga kalau misalkan kita mau melihat pelaksaan hukumnya apakah sudah sejalan, menurut saya belum karena sifatnya kepentingan, tergantung kepentingannya siapa yang ada di belakangnhya, siapa yang menjalani nya dan segala macam. Jadi, baik khususnya penegak hukum itu belum bisa membawa dirinya se independensi dalam menjalankan nya, termasuk pengacara.
Apakah Anda melihat ada perbedaan perlakuan di sektor tertentu, misalnya pendidikan, pekerjaan, atau layanan kesehatan antara kaum mayoritas dan minoritas?
Di tahun 2013 di NTT di perbatasan Timor Leste waktu itu, perbedaan yang paling mencolok disitu adalah pendidikan. Waktu itu saya mengajar anak usia 11 tahun kelas 5 atau 6 SD, mereka belum bisa membaca, jadi kontestasi yang seperti itulah yang khususnya paling fundamen yang belum merata. Karena kalau pendidikannya bagus merata ke seluruhnya artinya berbanding lurus dengan kualitas masyarakat di daerah itu sendiri.
Bagaimana cara terbaik untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menghargai perbedaan?
Pentingnya untuk masyarakat apalagi sekarang di era media sosial seharusnya pemerintah itu melakukan pembatasan siapa-siapa saja yang bisa mengakses media sosial supaya lebih bijak. Lalu seterusnya, pendidikan yang paling nomor satu sehingga ketika orang berinteraksi baik di media sosial maupun di tengah masyarakat mereka bisa memposisikan dirinya itu, bisa saling menghargai, karena kalau pendidikan yang paling utama kita bisa menentukan sikap dan perilaku kita ketika sudah menjalani hubungan sosial dengan masyarakat.
Kira-kira menurut Anda sendiri di Indonesia saat ini sudah ada hukum atau kebijakan terkait isu ini atau tidak?
Kalau mayoritas dan minoritas itu pasti di tengah masyarakat. Dan ketika orang berkumpul dengan suku-suku yang lain di suatu daerah atau domisili, perbedaan mayoritas dan minoritas pasti terasa banget khususnya di daerah Jakarta. Hukum nya sih sudah benar, hanya saja implementasi nya kadang tidak jalan.
Dokumentasi wawancara daring bersama narasumber
yang dilaksanakan via Google meet
Analisa
Berdasarkan dari hasil wawancara, berikut adalah analisa mengenai topik yang dibahas :
Perspektif Hukum tentang Kesetaraan : Responden mengatakan bahwa asas kesetaraan di hadapan hukum menekankan bahwa setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, terlepas dari status mereka sebagai mayoritas atau minoritas. Dengan demikian, sistem hukum tidak seharusnya melakukan perbedaan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Responden juga menyebutkan konsep sociological jurisprudence, yaitu perspektif hukum yang mempertimbangkan konteks sosial. Ini menunjukkan bahwa, meskipun hukum secara umum mendukung kesetaraan, ada tantangan dalam penerapan hukum yang kadang-kadang dipengaruhi oleh faktor sosial dan politik.
Peran Pemerintah dalam Melindungi Hak Minoritas : Responden berpendapat bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menggunakan kebebasan mereka saat membuat kebijakan yang melindungi secara adil seluruh lapisan masyarakat. Asas harga omnes, yang berarti bahwa tindakan pemerintah seharusnya bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan, disebutkan oleh responden. Namun, ada kritik bahwa pelaksanaan asas ini belum ideal, terutama jika minoritas tidak diperlakukan dengan sama. Pandangan ini menunjukkan keinginan agar pemerintah lebih adil dan adil dalam menerapkan keadilan bagi semua kelompok.
Pengalaman Diskriminasi Terhadap Kelompok Minoritas : Responden memberikan contoh pengalaman diskriminasi yang pernah disaksikan, yaitu kasus hukum yang melibatkan seorang guru di sekolah internasional. Kasus ini dianggap sebagai bentuk diskriminasi karena proses hukum yang dijalankan kurang adil bagi individu yang tergolong minoritas dalam konteks kasus tersebut. Hal ini mencerminkan bahwa diskriminasi masih terjadi dalam sistem hukum Indonesia, di mana minoritas seringkali dianggap bersalah atau tidak mendapatkan perlakuan yang adil.
Peran Mayoritas dalam Mendukung Minoritas : Responden mengutip pemikiran Gus Dur yang menyatakan bahwa keberagaman yang harmonis dapat tercapai ketika mayoritas menjaga hak dan menghormati keberadaan minoritas. Ini menekankan bahwa tanggung jawab utama dalam mendukung hak minoritas bukan hanya ada pada pemerintah, tetapi juga pada masyarakat mayoritas yang memiliki kekuatan dan pengaruh lebih besar. Responden menekankan pentingnya empati dan toleransi dari kelompok mayoritas untuk menciptakan lingkungan yang adil dan inklusif.
Perlindungan Hukum untuk Minoritas : Meskipun Indonesia memiliki peraturan dan kebijakan untuk melindungi hak-hak minoritas, responden menekankan bahwa implementasi menjadi tantangan utama. Responden mengaitkan hal ini dengan politik dan kepentingan yang seringkali mempengaruhi independensi aparat penegak hukum. Ini menunjukkan bahwa meskipun undang-undang telah mengatur kesetaraan, praktik di lapangan seringkali tidak sejalan dengan prinsip tersebut karena adanya pengaruh eksternal yang kuat.
Perbedaan Perlakuan di Sektor Pendidikan : Responden menyebutkan contoh dari Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana terdapat ketimpangan dalam akses pendidikan, yang menunjukkan perbedaan perlakuan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Responden menyoroti bahwa pendidikan yang belum merata menyebabkan kualitas sumber daya manusia yang berbeda di antara kelompok-kelompok tersebut. Hal ini mengindikasikan perlunya perhatian khusus pada penyediaan akses yang sama untuk pendidikan sebagai salah satu langkah awal dalam mengurangi diskriminasi.
Pentingnya Edukasi untuk Menghargai Keberagaman : Responden berpendapat bahwa edukasi adalah kunci dalam meningkatkan toleransi dan sikap saling menghargai. Dengan adanya edukasi yang baik, masyarakat dapat lebih bijaksana dalam berinteraksi, baik di dunia nyata maupun di media sosial. Responden juga menyarankan agar pemerintah melakukan pengawasan terhadap penggunaan media sosial untuk mencegah penyebaran intoleransi. Ini menunjukkan bahwa selain kebijakan, perubahan pola pikir masyarakat melalui pendidikan merupakan langkah penting dalam menciptakan harmonisasi.
Implementasi Hukum yang Belum Optimal : Responden mengakui bahwa hukum dan kebijakan terkait keadilan sosial sudah ada, tetapi implementasinya seringkali tidak efektif. Responden menilai bahwa banyak kebijakan yang gagal dalam pelaksanaan karena dipengaruhi oleh kepentingan tertentu, dan menyoroti bahwa aparat penegak hukum kadang tidak independen dalam menjalankan tugas mereka. Ini mencerminkan tantangan besar dalam mewujudkan keadilan bagi semua, terutama bagi kelompok minoritas.
Kesimpulan
Hasil wawancara ini menunjukkan bahwa penerapan prinsip kesetaraan di hadapan hukum di Indonesia masih menghadapi tantangan yang cukup besar, terutama dalam konteks perbedaan perlakuan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Meskipun secara normatif sistem hukum Indonesia telah menetapkan asas kesetaraan, kenyataan di lapangan menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam praktiknya. Narasumber mengungkapkan bahwa prinsip equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum seharusnya menjamin setiap individu mendapatkan hak dan kewajiban yang sama tanpa memandang status mayoritas atau minoritas. Namun, sering kali, konteks sosial dan politik memengaruhi penerapan hukum tersebut sehingga keadilan bagi minoritas masih sulit diwujudkan sepenuhnya. Pemerintah memiliki peran penting dalam menjaga dan melindungi hak-hak kelompok minoritas agar mereka mendapatkan perlakuan yang setara. Narasumber menyebutkan asas harga omnes, yang berarti bahwa kebijakan pemerintah idealnya bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Sayangnya, penerapan asas ini belum optimal. Banyak kebijakan yang, alih-alih menciptakan keadilan bagi minoritas, malah cenderung berpihak pada mayoritas. Hal ini menunjukkan perlunya perhatian lebih dari pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan pelaksanaannya agar benar-benar adil bagi seluruh masyarakat.
Dalam pengalaman narasumber, diskriminasi terhadap kelompok minoritas masih kerap terjadi, bahkan dalam proses hukum yang seharusnya independen. Sebagai contoh, narasumber memberikan gambaran kasus hukum yang dialami seorang guru di sekolah internasional yang dianggap mendapat perlakuan tidak adil sebagai minoritas. Kasus ini mengindikasikan bahwa diskriminasi terhadap minoritas masih ada dalam sistem hukum, yang mana individu dari kelompok minoritas sering kali dinilai bersalah atau mendapatkan proses hukum yang tidak seimbang. Ini memperlihatkan bahwa meskipun hukum secara normatif mendukung kesetaraan, realitas penerapannya masih menghadapi kendala besar.
Tidak hanya pemerintah, masyarakat mayoritas juga memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang adil dan inklusif bagi kelompok minoritas. Narasumber mengutip pemikiran Gus Dur yang menekankan bahwa tanggung jawab dalam menjaga hak dan keberadaan minoritas tidak hanya terletak pada pemerintah, tetapi juga pada masyarakat mayoritas. Gus Dur berpendapat bahwa mayoritas yang berperan besar dalam mendukung hak-hak minoritas dapat membantu terciptanya keberagaman yang harmonis. Empati dan toleransi dari mayoritas menjadi kunci dalam mewujudkan lingkungan yang damai dan menghargai perbedaan.
Selain itu, perlindungan hukum bagi minoritas sebenarnya telah diatur dalam berbagai peraturan di Indonesia. Namun, narasumber menekankan bahwa implementasinya masih jauh dari optimal. Banyak pihak menilai bahwa penegakan hukum kerap kali terhambat oleh pengaruh politik dan kepentingan tertentu, yang menyebabkan aparat penegak hukum kehilangan independensinya. Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun secara formal telah ada perlindungan hukum, tetapi praktik di lapangan sering kali tidak mencerminkan prinsip keadilan yang sebenarnya. Diskriminasi juga terlihat dalam sektor pendidikan, di mana akses terhadap pendidikan yang berkualitas masih terbatas bagi kelompok minoritas di beberapa wilayah, seperti yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT). Ketidakmerataan akses pendidikan ini menyebabkan kesenjangan dalam kualitas sumber daya manusia antara mayoritas dan minoritas. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan yang setara belum sepenuhnya tercapai dan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah untuk memastikan bahwa setiap kelompok, baik mayoritas maupun minoritas, memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan.
Lebih jauh, edukasi dianggap sebagai elemen penting untuk membentuk masyarakat yang lebih toleran dan menghargai keberagaman. Narasumber berpendapat bahwa pendidikan yang baik dapat membantu masyarakat dalam meningkatkan pemahaman dan sikap saling menghormati terhadap keberagaman. Selain itu, edukasi juga dapat membantu dalam mencegah penyebaran intoleransi, terutama di media sosial. Pemerintah disarankan untuk meningkatkan pengawasan terhadap penggunaan media sosial guna mencegah penyebaran ujaran kebencian dan intoleransi. Ini menunjukkan bahwa upaya menciptakan harmonisasi sosial tidak hanya membutuhkan kebijakan yang adil, tetapi juga perubahan pola pikir masyarakat melalui pendidikan yang inklusif. Secara keseluruhan, meskipun regulasi dan kebijakan untuk melindungi hak minoritas telah ada, implementasi dan penegakannya masih menghadapi banyak hambatan. Agar keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat benar-benar tercapai, perlu adanya komitmen dari pemerintah untuk meningkatkan independensi aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas mereka. Selain itu, dukungan dari masyarakat mayoritas sangat dibutuhkan untuk membentuk lingkungan yang inklusif dan mendukung keberadaan minoritas. Harmonisasi sosial hanya dapat terwujud apabila prinsip keadilan diterapkan secara konsisten, baik dalam bentuk kebijakan pemerintah yang inklusif maupun melalui sikap masyarakat yang menghargai perbedaan. Dengan demikian, terciptalah sebuah bangsa yang lebih kuat, adil, dan siap menghadapi tantangan di masa depan.
Daftar Pustaka
Suprapto. (2012). Membina Relasi Damai Antara Mayoritas dan Minoritas. 12(1), 20-44.
Graciela, Kevina & Geraldi, Gernas. (2019). Membicarakan Relasi Antara Minoritas dan Mayoritas Kita. Whiteboard Journal. https://www.whiteboardjournal.com/ideas/human-interest/membicarakan-relasi-antara-minoritas-dan-mayoritas-kita/
Kompasiana. (2023). Menyikapi Masyarakat Minoritas dan Mayoritas di Indonesia. Diakses pada 8 Oktober 2024, dari https://www.kompasiana.com/hanayaa3574/63b54f7988d103102272bfd2/menyikapi-masyarakat-minoritas-dan-mayoritas-di-indonesia